Karena PK Ditolak, Peluang Ahok Menjadi Cawapres Terhalau

Beritatrendmasakini.comNews, Jakarta – Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dikatakan terlah menutup pintu bagi mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki T.Purnama (Ahok) menjadi calon Wakil Presiden.

“Dari putusan ini tertutup sudah peluang Ahok untuk bisa masuk dalam list (cawapres),” ucap pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Firman Manan, Senin (26/3/2018).

Juru bicara MA Suhadi telah memastikan PK Ahok pada kasus penodaan agama ditolak. Majelis hakim terdiri dari Artidjo Alkostar sebagai ketua dan Salman Luthan serta Sumardijatmo sebagai anggota.

Pada sisi lain, kasus Ahok tidak menjadikannya benar-benar terlempar pada bursa cawapres untuk Pemilu 2019. Salah satunya, hasil dari survei Publik Opinion dan Populi Research (Populi Center) pada 28 Februari 2018 yang menempatkan Ahok dengan elektabilitas yang sebesar 2 persen.

“Meski ada terdengar nama lain, namun Ahok sempat dikatakan sebagai salah satu cawapres,” sambung Firman.

Pendapatnya, setiap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan melihat ke arah sentimen publik terhadap Ahok. Sementara, penolakan PK ini membuat Ahok harus melanjutkan sisa hukumannya.

Firman mengatakan pintu bagi Ahok untuk kembali ke dunia politik dalam jangka panjang masih terbuka. Hal itu terlihat pada sejumlah politikus mantan terpidana yang tetap bisa kembali terjun ke dunia politik. Tapi, status mantan narapidana kasus penodaan agama dinilai akan menjadi pemicu sentimen tertentu.

“Kasus Ahok begitu luar dan isunya sangat sensitif. Maka memang jika ada peluang, agak berat untuk kembali. Namun bukan tidak mungkin, bisa saja orang berpikiran sebaliknya,” pungkasnya.

Yang begitu memungkinkan buat Ahok, ucap Firman, yaitu posisi tim sukses. Misalnya, terutama, bergerak dalam kalangan atau elemen tertentu. Pendapat dia, hal itu mungkin terjadi mengingat Ahok masih mempunyai pendukung yang loyal.

“Sekarang juga bisa biarpun masih dalam posisi di dalam Rutan Mako Brimob, namun dia endorse pada masa pendukungnya, apalagi yang loyal. Masih begitu memungkinkan,” tuturnya.

Terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menyampaikan penolakan PK ini membuat langkah hukum bagi Ahok sudah habis.

Pendapatnya, Ahok sendiri tidak bisa mengajukan PK lagi selama belum menemukan novum atau bukti baru pada kasusnya.

“Jalan hukumnya sudah habis. Dulu sudah saya sampaikan kenapa terburu-buru mengajukan PK, seharusnya ditunggu,” katanya.

Dia juga mengatakan sudah menduga MA akan menolak PK yang diajukan Ahok. Pendapatnya, dasar pengajuan PK itu bertentangan dengan persyaratan yang tertuang pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Berdasarkan dalam Pasal 263 ayat 2 KUHAP, permintaan PK dilakukan atas dasar, pertama, terhadap keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan tersebut telah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum sudah tidak bisa diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang ringan.

Kedua, dalam pengambilan berbagai putusan terhadap pernyataan bahwa sesuatu yang sudah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dari dasar dan alasan putusan yang sudah dinyatakan terbukti itu, ternyata sudah bertentangan satu dengan yang lain.

Ketiga, jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakum atau suatu kekeliruan yang nyata.

Chudry menjelaskan bahwa Ahok tidak bisa mendasari pengajuan PK dengan putusan Pengadilan Negeri Badung atas terdakwa Buni Yani pada kasus ujaran kebencian. Pendapatnya, peristiwa pidana yang terjadi pada kasus Ahok dan Buni Yani tidak sama.

“Pertimbangan itu bukan suatu alasan untuk mengajukan PK. Memang betul ada pertentangan, namun pertentangan Buni Yani dan Ahok ini peristiwanya tidak sama. Jika Ahok ucapan dia ketika berada di Kepulauan Seribu. Jika Buni Yani itu merusak berita asli yang dia ubah,” pungkasnya.

Terlepas dari itu, Ahok mempunyai kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi atau pengampunan kepada Presiden Joko Widodo. Tapi, grasi tidak bisa menghapus tindak pidana yang sudah dilakukannya.

“Peristiwa dalam penodaan agama itu tetap dibilang salah, hanya tidak dihukum jika ada diberi grasi. Jika PK, dibilang terbukti bebas artinya peristiwa itu dibilang tidak terbukti besalah, bukan peristiwa pidana,” terangnya.

By admin

RSS
Follow by Email