Ini Makna dan Filosofi Subak di Desa Jatiluwih yang Dikunjungi Obama

Berita Trend Masa Kini.com, Tabanan – Sudah sejak lama, sistem pengairan Subak diterapkan oleh masyarakat Bali. Sempat didatangi oleh Obama kemarin, tenyata Subak mempunyai makna dan filosofi yang mendalam.

Sejak dari bangku sekolah dasar, traveler tentu saja sudah pernah mendengar atau belajar tentang sistem pengairan Subak. Dibalik defenisinya sebagai sistem pengairan, ternyata Subak mempunyai makna lebih mendalam.

Atas keunikannya, keluarga Obama sampai datang ke Desa Jatiluwih di Tabanan pada Minggu kemarin (26/6/2017). Diketahui, Obama menghabiskan waktu selama 80 menit untuk melihat terasering sawah dan pengaturan Subak di sana.

Penasaran dengan pengertian mendalam dari sistem pengairan Subak, Kita pun bertamu ke rumah tokoh adat Subak sekaligus penasihat dari Kelompok Ekowisata Suranadi, I Gede Suweden, di Desa Jatiluwih, Tabanan.

Baca juga : Mempersiapkan Fasilitas Tambahan Menjelang Libur Lebaran di Candi Borobudur

Ditemui di rumah, pria yang akrab dipanggil Suweden ini memang sudah paham betul tentang Subak. Berprofesi sebagai petani dan penasehat adat, Suweden juga sudah sering menerima kunjungan dari turis maupun pelajar asing yang ingin mengetahui tentang Subak.

“Subak ditinjau dari pengertiannya oleh sebuah organisasi pengairan yang bersifat agriculture, relegius dan ekonomi, landasannya Tri Hita Karana (tiga keseimbangan), tri merupakan tiga, hita karana merupakan seimbang,” uncap Suweden.

Ini Makna dan Filosofi Subak di Desa Jatiluwih yang Dikunjungi Obama

Menurut arti kata, Subak diambil dari bahasa Bali yang memiliki makna sealiran. Dari sumbernya, air dialirkan ke dalam sistem irigasi yang menuju ke sawah-sawah para pertani.

“Subak berasal dari kata Seuwak yang artinya suber mata air atau irigasi, sehingga airnya bisa mengalir ke sini, mau dialirin ke sawah siapa, berapa yang dia dapat,” tutur Suweden.

Secara filosofis, Tri Hita Karan menjadi lambang akan hubungan manusia dengan tuhan, antara manusia serta lingkungan. Ketiga makna itu pun selalu diterapkan oleh Subak.

Tri Hita Karana juga diterapkan secara nyata, bukan hanya di atas kertas putih. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan misalkan, tampak dari adanya pure kecil pada setiap Subak hingga sawah milik petani.

“Setiap sumber mata air yang dialiri menuju sawah ada pure kecilnya yang bernama ulun umpelan temple. kemudian di sawah masin-masing petani ada semacam pure kecil lagi yang dinamakan sanggar catu. Ketiga secara kolektif dalam satu dempetan, ulun bedugul dan ulun siwi, disana upacaranya semua anggota Subak dalam satu dempet,” tutur Suweden.

Kemudian dalam suatu hubungan manusia dengan manusia lain, dalam hal ini hubungan antara petani. Nilai dasar bangsa Indonesia seperti gotong royong dan saling membatu masih nyata menjadi pegangan.

“Sistem kerjasamanya masih secara kekeluargaan, saling tolong menolong lah, menanam, membajak dan seterusnya masih itu. Sebagian kecil dilaksanakan tetapi tidak menutup kemungkinan kalau petaninya mempunyai uang dia tidak bisa membantu tiapi mengongkosin,” tegas Suweden.

Lalu hubungannya antara manusia dengan lingkungan atau alam. Bahwa setiap Subak dan aktivitas pertaniannya haruslah bermanfaat bagi lingkungan, dalam mengelolah lahan dengan tujuan yang baik pula.

“Misalkan mempunyai lahan seluas 50 hare, yang miring-miring itu tidak bisa dijadikan sawah, jangan dipaksakan tetapi ada manfaatnya juga, yang flat digunakan sawah miring-miring ditanami tanaman yang profuktif seperti pisang, kelapa, nangka, dan sebagainya,” ucap Suweden.

Ini Makna dan Filosofi Subak di Desa Jatiluwih yang Dikunjungi Obama

Lebih jauh lagi, sistem terasering dan pengairan Subak juga sudha memiliki dampak yang lebih baik pada lingkungannya. Selain itu, sistem tersebut juga sangat bersinergi dengan kebutuhan masyarakat Bali yang rutin memberikan persembahan atau sesajen untuk keperluan upacara.

“Itu juga memiliki funsinya, satu sebagai penahan agar tanah tidak erosi, kedua karena orang Bali setiap 5 hari sekali mengadakan upacara, nyarilah dauh kelapannya di tempat tadi. Itu menjadi dwifungsi, bisa menahan erosi bermanfaat bagi kelengkapan upacara. Jarang lah petani di gunung itu membeli bahan upacara, itu yang dimaksudkan Tri Hita Karana,” terang Suweden.

Namun setelah ditelusuri lebih jauh, Subak itu diketahui telah ada sejak abad ke-11 di Bali. Pengertiannya telah ditulis oleh Raja Klungkung dalam bukunya.

“Subak itu sendiri berdiri berdasarkan Purano Raja Klungkung abad ke-11, masehinya 1072 masehi, ada tertulis di dalam buku tersebut. Yang sistem pengolahan lainnya berada di buku Darmo Pemaculan yang ada 15 tahapan, bukan main-main ini, dari sejak lama sudah ada filosofinya,” akhir Suweden.

Singkat kata, Subak sudah ada sejak dulu sekali dan masih diimplementasikan oleh masyarakat Bali saat ini. Keberadaannya pun masih menjadi simbol akan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam. Sungguh makna dan filosofi indah yang sangat mendalam.

By admin

RSS
Follow by Email